Malam ini takbir dikumandangkan. Pertanda bahwa esok hari yang suci. Kue lebaran siap disajikan. Baju baru dan muslimah siap dikenakan. Ketupat dan opor ayam, tak ketinggalan. Sholat tarawih dan kuis di TV saat sahur tak kan ditemui esok hari. Di dinding langit tampak bintang bintang yang menambah keceriaan malam ini. Tak seorang pun yang sedih, kecuali Dea.
Hari ini Dea tidak puasa. Ia tergoda oleh kue keju buatan ibunya. Betapa tidak. Cake full keju bolo-bolo ala mama Dea itu 50% bahannya adalah keju. Tampak sepintas dari luar, bertabur parutan keju hampir menyelimuti seluruh goresan krim putih yang menempel pada roti. Dalamnya pun tak usah dibahas, sudahlah pasti rasa keju. Entah mengapa ia tidak ‘enek’ dengan makanan yang seperti itu. Tapi, mungkin itu pula yang menyebabkan wajahnya kini ditumbuhi sebuah jerawat (di hidungnya!). Si besar dan merah itu akan menjadi tontonan keluarga besarnya besok.
Berbeda dengan Ravi. Si ‘film lovers’ itu tak peduli dengan kesibukan orang-orang rumah untuk esok. Motto hidupnya akan tetap sampai kapan pun “Tiada hari tanpa inspirasi visual”. Tapi anak Pak Hasan, guru Matematika kelas X di SMAN 21 itu, tidak pernah mendapat rapor merah. Hanya saja ia tak pernah mendapat juara. Hari ini ia telah menyelesaikan 3 film : 2012, the Core, dan Drive Angry.
Takbir terus dikumandangkan sampai 1 Syawal 1430 H. Masjid An-Nur dekat rumah kedua bocah tersebut, pagi itu telah ramai hingga ke lapangan. Cerahnya sang surya menghiasi hari yang fitri. Seluruh umat muslim merayakan kemenangan dan kebebasan dari pertempuran segala hawa nafsu selama sebulan penuh. Masing-masing hamba Allah bersalaman dengan sesamanya, memohon ampunan atas salah dan dosa selama setahun.
Adik Dea ‘Amanda’ berlari sana sini, mencicip ini itu, meminta angpau pada paman paman di ruang tamu Buyut Fitri. Nenek yang akrab disapa Mbah Prit oleh para cucunya, kini berusia 80 tahun. Beliau amat senang masih dikaruniai kesehatan untuk berlebaran bersama anak cucunya tahun ini. Beliau juga tersenyum melihat jerawat di hidung Dea yang merah masak bak apel di hypermaket. Merasa dilihati sang nenek, Dea mendekat dengan senyum yang lebar pada neneknya. Karena faktor usia (mungkin!), Mbah Prit dengan segera mencubit hidung Dea yang sedang berbuah. Tak sampai sepertiga puluh detik kemudian, ruangan itu pecah dengan suara tertawa (terutama si Manda). Sedangkan Dea? Jengkel, sangat!
Berbeda dengan lebaran lebaran sebelumnya, hari ini Ravi tidak di rumah untuk menonton film. Ia (terpaksa) ikut menjamah rumah saudara saudaranya untuk bersilaturahmi dan saling mengampuni. Tapi memang sudah dasarnya jiwa jiwa perfilm-an, dia malah bercerita-ria tentang film yang ditontonnya kemarin tanpa henti. Lama kelamaan Pak Guru Matematika itu, menyeretnya pulang dan meminta maaf (lagi) pada anggota keluarga yang lain.
28 Desember 2009, hari pertama Dea masuk sekolah setelah libur dua minggu berlebaran. Seperti biasa, Dea selalu diantar ayahnya setelah mengantarkan Amanda ke SDN Kerto Harjo. Hari itu dilaluinya dengan upacara dan halal bihallal. Tentu saja Dea senang, karena selain jerawatnya telah lenyap, Riri berulang tahun. Ia akan ditraktir dua mangkuk bakso keju Pak Syukur, belakang sekolah. Serta tak ketinggalan jus alpukat dengan susu coklat di atasnya (porsi jumbo!) di Jl. Maha Suara, dekat KFC. Dea memang ‘si Ratu makan’ tapi tidak ada tanda tanda pada dirinya yang menunjukkan suatu kegemukan (bisa saja memang faktor gen bawaan!)
Berbeda dengan Ravi, dia memang tidak mau berangkat dengan ayahnya. Terang saja. Motor yang dibawa ayahnya setiap hari adalah vespa ’70.
“Motor ini mengantarkan saya mulai dari nol sampai sekarang,” ujar bapak ahli Trigonometri itu, “walaupun saya mampu membeli motor yang bagus, saya tidak akan merubah kecintaan saya pada motor ini.”
Tapi Ravi tetap saja tidak bisa menolak kalau kalau harus ke sekolah dengan ayahnya ‘Pangeran bervespa ‘70’
“Kapan aku dapat yang aku mau? Film gak boleh! Motor pun apalagi! Roni aja yang anak pak satpam di pabrik rokok Dji Ro Lue boleh bawa motor sendiri. Huft!” keluh Ravi dalam hati.
Esok harinya, pagi pagi sekali Dea datang. Maklumlah … dia memang sangat suka duduk di bangku paling depan, apalgi kalau ada pelajaran Matematika. Walaupun ia harus membawa sarapannya ke sekolah. Ia lebih merelakan sarapaan nasi goreng dua porsinya menjadi satu di kotak bekal. Bersamaan dengan itu, motor Pak Hasan telah terparkir pojok sendiri, barisan awal yang selalu menjadi provokator motor motor guru yang lain. Ravi yang melihat Dea sedang sarapan di kelas X.8, iseng untuk menjahili murid kesayangan ayahnya itu.
“DOOORRR!!!”
Suara keras Ravi menggema di ruangan tanpa murid selain mereka berdua itu, mendarat di telinga Dea dan mengejutkan hati serta jiwanya.
“Uhuuk..Uhuuk..Uhuuk..”
Sedetik kemudian Dea batuk batuk kuwalahan, sedangkan Ravi berhehehe-ria.
“RAVIIIII !!!!”
***